Tangisan Terakhir Kumiko
Oleh : Cilia Ratu Ayu H
Di siang hari di awal musim
dingin ini, ada dua orang anak yang berjalan menyusuri jalanan kota yang sangat
dingin. Mereka adalah kakak beradik yang sangat kumuh dan juga kurus kering.
Anak laki-laki itu tingginya sekitar 138 cm, sedangkan adik perempuannya
memiliki tinggi sekitar 100 cm. Umur anak laki-laki itu sekitar 10 tahun,
sedangkan sang adik kira-kira berumur 3 tahun. Mereka berjalan dengan tas
ransel kecil di punggung mereka. Para warga sering memberikan mereka makan atau
sekedar memandangi mereka dengan pandangan aneh.
Kumiko kecil itu menggandeng
tangan kakaknya dengan sangat erat sambil menahan rasa dingin yang terasa
sangat menusuk kulit. Kumiko adalah nama gadis yang tadi berjalan kaki
menyusuri setiap gang di kota, bersama dengan kakaknya Aikawa ia menyusuri
jalan. Walau didalam benaknya sendiri, ia tak tahu harus kemana ia harus
melangkah. Ia hanya berjalan mengikuti kakaknya yang sangat ia sayangi. Aikawa
adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, karena ibunya sudah meninggal saat
melahirkan Kumiko. Sedangkan ayahnya sedang bertugas sebagai perajurit perang,
yang saat ini sedang berperang di medan perang.
Mereka tak memiliki rumah
karena rumah mereka sudah habis terbakar dilalap api. Kini mereka tak memiliki
apapun selain baju yang mereka kenakan, ditambah dengan tas ransel yang berada
di punggung mereka. Mereka terus berjalin sambil tertatih-tatih kelelahan,
entah apa yang akan di katakan oleh ayah mereka jika melihat kondisi mereka
yang sekarang. Kumiko menarik-narik tangan Aikawa, yang menandakan bahwa ia
ingin mengatakan sesuatu.
“Ada apa Kumiko?” tanya sang
kakak.
“Aikawa-chan aku lapar, kita kapan sampai ke rumah nenek?” Tanya Kumiko
kepada sang kakak.
“Kita pasti akan sampai
Kumiko sekarang yang kita butuhkan hanya kesabaran,” jelas Aikawa kepada sang
adik.
“Kalau begitu bagaimana kalau
kita mencari tempat untuk istirahat dulu kak?” keluh sang adik.
“Kamu sudah letih ya?” sambil
memberikan senyum terbaiknya kepada adik kecilnya.
“Iya onne-chan*.”
*Dalam bahasa Jepang artinya
kakak laki-laki
“Ok. Kalau begitu aku akan
mencarikannya untukmu, tunggulah di bawah pohon ini ya?”
“Kenapa onne-chan tidak menyewa sebuah kamar di salah satu hotel disini?”
“Dengar Kumiko. Jika saja
kita tidak membuang-buang uang seperti sebelumnya, maka sekarang kita pasti
sudah makan makanan enak dan juga tidur di salah satu kamar hotel.”
“Apa itu artinya uang kita
telah habis kak?”
“Iya, uang kita habis. Sudah
habis bahkan saat masih pertengahan bulan seperti ini.”
“Apa kita tidak bisa
mengambil gaji ottosan*?”
*Dalam bahasa Jepang
dimaksudkan untuk memanggil seorang ayah.
“Ini masih pertengahan bulan
Kumiko, tentu saja kita tidak dapat mengambilnya.”
“Baiklah kalau begitu
sekarang pergilah kak dan juga cepatlah kembali.”
Secarik aura kekhawatiran
tersirat di antar wajah Kumiko yang halus dan juga polos itu. Matanya
terpancaran kesedihan dan rasa takut, takut akan kehilangan kakak tercintanya.
“Tenang saja kakak akan
kembali.”
Setelah itu sang kakak
berjalan menyusuri jalan, melihat di setiap gang untuk mencari tempat untuk
beristirahat. Tapi sudah hampir setengah jam ia tidak menemukannya, ia mulai
khawatir dengan keadaan adiknya. Saat Aikawa berjalan untuk kembali, ia
tersandung batu dan terjatuh. Dia terjatuh ke arah tangga yang berada di
sampingnya, lalu ia bergulung jatuh menuruni tangga itu. Setelah sampai ke
bawah, ia segera bangkit sambil menahan rasa sakit di tubuhnya. Dia mulai
berjalan menyusuri jalan yang berada di sepanjang pinggiran aliran sungai,
sampai akhirnya ia menemukan sebuah lubang galian atau lebih tepatnya goa
buatan.
Disebut goa buatan karena goa
itu terlihat seperti buatan manusia yang digali secara manual, dengan diameter
dan kedalaman goa yang cukup untuk menampung 5 orang dewasa. Didepan goa
tersebut terdapat pohon Genseika, yang mekar hanya di musim dingin. Setelah
menemukan goa tersebut, sakin senangnya Aikawa langsung loncat kegirangan. Ia langsung
berlari menuju tempat Kumiko.
Tap.... tap... tap....
“Kumiko! Aku menemukannya...
aku menemukan tempatnya..” teriak Aikawa dari kejauhan.
“Benarkah kak?! Baguslah
dimana tempatnya?”
“Ayo kita pergi. Sebelum itu
kamu harus memberikan salah satu tanganmu agar aku dapat menggandengnya.”
“Oh iya kak. Ayo kita
kesana,” sambut Kumiko dengan wajah yang sangat manis, ia memberikan senyumnya
yang menurutnya paling sempurna dan dengan cepat menyambar tangan kakaknya.
Aikawa dan juga Kumiko
langsung segera menuju ke tempat yang dituju, yaitu goa yang tadi di temukan
oleh Aikawa. Setelah sampai di tempat itu, kedua kakak dan beradik itu segera
masuk kedalam goa. Saat memasuki goa, Kumiko segera melepas ransel yang sedari
tadi ia gantung di punggungnya. Sedangkan Aikawa masuk ke goa untuk melepaskan
ranselnya, lalu keluar goa untuk menyiapkan api. Walau ia sendiri tahu kalau
api sangat susah dibuat saat musim dingin seperti ini. Tetapi karena
kegigihannya akhirnya apinya menyala, disaat yang bersamaan Kumiko keluar dari
goa dan mendekati kakaknya. Dengan perlahan tangan kecil Kumiko memegang pundak
Aikawa.
“Ada apa Kumiko?” tanya
Aikawa penasaran.
“Aku lapar kak, sudah dari beberapa
hari ini kita belum makan apapun,” keluh Kumiko sambil memegangi perutnya.
“Iya tunggu sebentar ya
Kumiko sayang,” bujuk Aikwa
“Tapi perutku terus bunyi kak
dan juga rasanya sangat perih,” desak Kumiko kecil yang sudah tak dapat menahan
rasa lapar dan rasa sakitnya.
“Kalau gitu kamu tidur dulu,
nanti kalau ada makanan baru kakak bangunin.”
Setelah mendengar kalimat itu,
Kumiko kecil lalu mengangguk yang menandakan ia mengerti dengan ucapan
kakaknya. Kumiko kecil lalu segera masuk ke dalam gua, menyiapkan tempat untuk
dia tidur. Tas ranselnya ia gunakan untuk bantalnya dan jaket Aikawa sang
kakak, ia gunakan untuk selimut. Lalu ia membaringkan tubuhnya di permukaan
tanah didalam gua, setelah beberapa saat tubuhnya sudah tidak terlalu banyak
bergerak yang menandakan bahwa ia sudah tertidur.
Setelah melihat adiknya
tertidur, Aikawa lalu segera bergegas untuk pergi mencari makanan. Ia pergi
dari satu rumah ke rumah lainnya untuk meminta makanan, tetapi jawaban yang
selalu ia dapat semuanya sama. Mereka semua mengatakan bahwa mereka juga
kekurangan makanan, jadi mereka semua menolak permintaan Aikawa. Sampai
akhirnya ia sampai di rumah terakhir di gang itu. Aikawa mengetuk pintu rumah
tersebut, lalu seorang nenek tua keluar dari pintu tersebut. Ia lalu menanyakan
pertanyaan yang sama seperti di rumah-rumah sebelumnya, kepada nenek tua itu.
Si nenek tanpa berkata
sepatah katapun masuk kedalam rumahnya. Beberapa saat setelah itu, si nenek tua
itu kembali keluar dengan kotak bekal yang dibalut kain berwarna putih. Aikawa
sangat yakin bahwa itu adalah makanan, ia lalu segera mengambil kotak bekal
tersebut dan mengucapkan terimakasih kepada nenek itu. Setelah mengucapkan
terimakasih, Aikawa langsung berlari menuju gua. Ia berlari menggunakan seluruh
tenaganya dengan membawa kotak bekal itu di tangannya, sambil membayangkan
betapa senangnya hati Kumiko kecil jika ia melihat ini.
Tap... tap... tap...
“Kumiko... aku datang... aku
membawa makanan yang akan membuatmu kenyang... hosh.. hosh.. hosh...” teriak
Aikawa dari kejauhan.
Setelah sampai di gua, ia
melihat api yang ada didepan gua tadi sudah mati. Ia lalu segera menyalakan api
itu lagi. Walau membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi akhirnya api itu
menyala. Sesaat setelah api itu menyala, Aikawa lalu segera masuk kedalam gua.
Ia menjumpai sesosok tubuh manusia, yang tergeletak dengan posisi seperti orang
tertidur. Tubuh itu terlihat kecil dan juga rapuh, dengan kaki dan tangan yang
sangat kurus. Aikawa lalu mendekati tubuh tersebut.
“Kumiko, ayo bangun. Onne-chan membawakanmu makanan, coba
lihatlah ini.”
Aikawa lalu segera membuka
kain pembungkus tersebut, lalu membuka kotak bekal itu. Ternyata isi dari kotak
bekal itu adalah satu porsi penuh nasi hangat, dengan lauk tempura, telur
gulung, dan juga sushi ikan tuna.
“Lihat Kumiko, makanan ini
begitu lezat. Kau tahu tidak, bagaimana perjuanganku mendapatkan ini?”
Aikawa lalu melihat ke arah
Kumiko, yang sedari tadi tidak merespon ucapannya atau panggilannya. Kumiko
hanya terdiam dengan tubuh yang bahkan tidak bergerak sedikitpun. Penasaran,
Aikawa lalu menggoncangkan tubuh kecil Kumiko dengan pelan untuk
membangunkannya. Saat badan Kumiko digoncangkan, tubunhnya lalu berpindah
dengan lemasnya. Dengan perasaan yang sangat tidak enak, ia lalu mengecek
apakah Kumiko kecil masih bernafas. Aikawa mendekatkan telinganya ke dada
Kumiko tapi ia tidak mendengar apapun, yang ia rasakan hanyalah tubuh Kumiko
yang sangat dingin. Lalu ia meletakkan jari telunjuknya ke hidung Kumiko, yang
tidak lagi mengeluarkan hembusan angin.
“Kumiko, ayo bangun. Kita
makan bersama-sama ya.”
Dengan air mata yang
berlinang berjatuhan, Aikawa terus berusaha membangunkan adik kesayangannya
itu. Walau sesungguhnya ia tahu bahwa adiknya tak akan pernah membuka matanya
lagi untuk selamanya. Hari itu angin berhembus dengan sangat pelan, sehingga
menerbangkan bunga Genseika kedalam gua dan juga sungai yang membeku. Seakan mengerti
tentang kesedihan yang sedang dialami oleh Aikawa, mengerti tentang penderitaan
anak-anak prajurit perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar