Senin, 02 Februari 2015



Tangisan Terakhir Kumiko

Oleh : Cilia Ratu Ayu H
Di siang hari di awal musim dingin ini, ada dua orang anak yang berjalan menyusuri jalanan kota yang sangat dingin. Mereka adalah kakak beradik yang sangat kumuh dan juga kurus kering. Anak laki-laki itu tingginya sekitar 138 cm, sedangkan adik perempuannya memiliki tinggi sekitar 100 cm. Umur anak laki-laki itu sekitar 10 tahun, sedangkan sang adik kira-kira berumur 3 tahun. Mereka berjalan dengan tas ransel kecil di punggung mereka. Para warga sering memberikan mereka makan atau sekedar memandangi mereka dengan pandangan aneh.
Kumiko kecil itu menggandeng tangan kakaknya dengan sangat erat sambil menahan rasa dingin yang terasa sangat menusuk kulit. Kumiko adalah nama gadis yang tadi berjalan kaki menyusuri setiap gang di kota, bersama dengan kakaknya Aikawa ia menyusuri jalan. Walau didalam benaknya sendiri, ia tak tahu harus kemana ia harus melangkah. Ia hanya berjalan mengikuti kakaknya yang sangat ia sayangi. Aikawa adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, karena ibunya sudah meninggal saat melahirkan Kumiko. Sedangkan ayahnya sedang bertugas sebagai perajurit perang, yang saat ini sedang berperang di medan perang.
Mereka tak memiliki rumah karena rumah mereka sudah habis terbakar dilalap api. Kini mereka tak memiliki apapun selain baju yang mereka kenakan, ditambah dengan tas ransel yang berada di punggung mereka. Mereka terus berjalin sambil tertatih-tatih kelelahan, entah apa yang akan di katakan oleh ayah mereka jika melihat kondisi mereka yang sekarang. Kumiko menarik-narik tangan Aikawa, yang menandakan bahwa ia ingin mengatakan sesuatu.
“Ada apa Kumiko?” tanya sang kakak.
“Aikawa-chan aku lapar, kita kapan sampai ke rumah nenek?” Tanya Kumiko kepada sang kakak.
“Kita pasti akan sampai Kumiko sekarang yang kita butuhkan hanya kesabaran,” jelas Aikawa kepada sang adik.
“Kalau begitu bagaimana kalau kita mencari tempat untuk istirahat dulu kak?” keluh sang adik.
“Kamu sudah letih ya?” sambil memberikan senyum terbaiknya kepada adik kecilnya.
“Iya onne-chan*.”
*Dalam bahasa Jepang artinya kakak laki-laki
“Ok. Kalau begitu aku akan mencarikannya untukmu, tunggulah di bawah pohon ini ya?”
“Kenapa onne-chan tidak menyewa sebuah kamar di salah satu hotel disini?”
“Dengar Kumiko. Jika saja kita tidak membuang-buang uang seperti sebelumnya, maka sekarang kita pasti sudah makan makanan enak dan juga tidur di salah satu kamar hotel.”
“Apa itu artinya uang kita telah habis kak?”
“Iya, uang kita habis. Sudah habis bahkan saat masih pertengahan bulan seperti ini.”
“Apa kita tidak bisa mengambil gaji ottosan*?”
*Dalam bahasa Jepang dimaksudkan untuk memanggil seorang ayah.
“Ini masih pertengahan bulan Kumiko, tentu saja kita tidak dapat mengambilnya.”
“Baiklah kalau begitu sekarang pergilah kak dan juga cepatlah kembali.”
Secarik aura kekhawatiran tersirat di antar wajah Kumiko yang halus dan juga polos itu. Matanya terpancaran kesedihan dan rasa takut, takut akan kehilangan kakak tercintanya.
“Tenang saja kakak akan kembali.”
Setelah itu sang kakak berjalan menyusuri jalan, melihat di setiap gang untuk mencari tempat untuk beristirahat. Tapi sudah hampir setengah jam ia tidak menemukannya, ia mulai khawatir dengan keadaan adiknya. Saat Aikawa berjalan untuk kembali, ia tersandung batu dan terjatuh. Dia terjatuh ke arah tangga yang berada di sampingnya, lalu ia bergulung jatuh menuruni tangga itu. Setelah sampai ke bawah, ia segera bangkit sambil menahan rasa sakit di tubuhnya. Dia mulai berjalan menyusuri jalan yang berada di sepanjang pinggiran aliran sungai, sampai akhirnya ia menemukan sebuah lubang galian atau lebih tepatnya goa buatan.
Disebut goa buatan karena goa itu terlihat seperti buatan manusia yang digali secara manual, dengan diameter dan kedalaman goa yang cukup untuk menampung 5 orang dewasa. Didepan goa tersebut terdapat pohon Genseika, yang mekar hanya di musim dingin. Setelah menemukan goa tersebut, sakin senangnya Aikawa langsung loncat kegirangan. Ia langsung berlari menuju tempat Kumiko.
Tap.... tap... tap....
“Kumiko! Aku menemukannya... aku menemukan tempatnya..” teriak Aikawa dari kejauhan.
“Benarkah kak?! Baguslah dimana tempatnya?”
“Ayo kita pergi. Sebelum itu kamu harus memberikan salah satu tanganmu agar aku dapat menggandengnya.”
“Oh iya kak. Ayo kita kesana,” sambut Kumiko dengan wajah yang sangat manis, ia memberikan senyumnya yang menurutnya paling sempurna dan dengan cepat menyambar tangan kakaknya.
Aikawa dan juga Kumiko langsung segera menuju ke tempat yang dituju, yaitu goa yang tadi di temukan oleh Aikawa. Setelah sampai di tempat itu, kedua kakak dan beradik itu segera masuk kedalam goa. Saat memasuki goa, Kumiko segera melepas ransel yang sedari tadi ia gantung di punggungnya. Sedangkan Aikawa masuk ke goa untuk melepaskan ranselnya, lalu keluar goa untuk menyiapkan api. Walau ia sendiri tahu kalau api sangat susah dibuat saat musim dingin seperti ini. Tetapi karena kegigihannya akhirnya apinya menyala, disaat yang bersamaan Kumiko keluar dari goa dan mendekati kakaknya. Dengan perlahan tangan kecil Kumiko memegang pundak Aikawa.
“Ada apa Kumiko?” tanya Aikawa penasaran.
“Aku lapar kak, sudah dari beberapa hari ini kita belum makan apapun,” keluh Kumiko sambil memegangi perutnya.
“Iya tunggu sebentar ya Kumiko sayang,” bujuk Aikwa
“Tapi perutku terus bunyi kak dan juga rasanya sangat perih,” desak Kumiko kecil yang sudah tak dapat menahan rasa lapar dan rasa sakitnya.
“Kalau gitu kamu tidur dulu, nanti kalau ada makanan baru kakak bangunin.”
Setelah mendengar kalimat itu, Kumiko kecil lalu mengangguk yang menandakan ia mengerti dengan ucapan kakaknya. Kumiko kecil lalu segera masuk ke dalam gua, menyiapkan tempat untuk dia tidur. Tas ranselnya ia gunakan untuk bantalnya dan jaket Aikawa sang kakak, ia gunakan untuk selimut. Lalu ia membaringkan tubuhnya di permukaan tanah didalam gua, setelah beberapa saat tubuhnya sudah tidak terlalu banyak bergerak yang menandakan bahwa ia sudah tertidur.
Setelah melihat adiknya tertidur, Aikawa lalu segera bergegas untuk pergi mencari makanan. Ia pergi dari satu rumah ke rumah lainnya untuk meminta makanan, tetapi jawaban yang selalu ia dapat semuanya sama. Mereka semua mengatakan bahwa mereka juga kekurangan makanan, jadi mereka semua menolak permintaan Aikawa. Sampai akhirnya ia sampai di rumah terakhir di gang itu. Aikawa mengetuk pintu rumah tersebut, lalu seorang nenek tua keluar dari pintu tersebut. Ia lalu menanyakan pertanyaan yang sama seperti di rumah-rumah sebelumnya, kepada nenek tua itu.
Si nenek tanpa berkata sepatah katapun masuk kedalam rumahnya. Beberapa saat setelah itu, si nenek tua itu kembali keluar dengan kotak bekal yang dibalut kain berwarna putih. Aikawa sangat yakin bahwa itu adalah makanan, ia lalu segera mengambil kotak bekal tersebut dan mengucapkan terimakasih kepada nenek itu. Setelah mengucapkan terimakasih, Aikawa langsung berlari menuju gua. Ia berlari menggunakan seluruh tenaganya dengan membawa kotak bekal itu di tangannya, sambil membayangkan betapa senangnya hati Kumiko kecil jika ia melihat ini.
Tap... tap... tap...
“Kumiko... aku datang... aku membawa makanan yang akan membuatmu kenyang... hosh.. hosh.. hosh...” teriak Aikawa dari kejauhan.
Setelah sampai di gua, ia melihat api yang ada didepan gua tadi sudah mati. Ia lalu segera menyalakan api itu lagi. Walau membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi akhirnya api itu menyala. Sesaat setelah api itu menyala, Aikawa lalu segera masuk kedalam gua. Ia menjumpai sesosok tubuh manusia, yang tergeletak dengan posisi seperti orang tertidur. Tubuh itu terlihat kecil dan juga rapuh, dengan kaki dan tangan yang sangat kurus. Aikawa lalu mendekati tubuh tersebut.
“Kumiko, ayo bangun. Onne-chan membawakanmu makanan, coba lihatlah ini.”
Aikawa lalu segera membuka kain pembungkus tersebut, lalu membuka kotak bekal itu. Ternyata isi dari kotak bekal itu adalah satu porsi penuh nasi hangat, dengan lauk tempura, telur gulung, dan juga sushi ikan tuna.
“Lihat Kumiko, makanan ini begitu lezat. Kau tahu tidak, bagaimana perjuanganku mendapatkan ini?”
Aikawa lalu melihat ke arah Kumiko, yang sedari tadi tidak merespon ucapannya atau panggilannya. Kumiko hanya terdiam dengan tubuh yang bahkan tidak bergerak sedikitpun. Penasaran, Aikawa lalu menggoncangkan tubuh kecil Kumiko dengan pelan untuk membangunkannya. Saat badan Kumiko digoncangkan, tubunhnya lalu berpindah dengan lemasnya. Dengan perasaan yang sangat tidak enak, ia lalu mengecek apakah Kumiko kecil masih bernafas. Aikawa mendekatkan telinganya ke dada Kumiko tapi ia tidak mendengar apapun, yang ia rasakan hanyalah tubuh Kumiko yang sangat dingin. Lalu ia meletakkan jari telunjuknya ke hidung Kumiko, yang tidak lagi mengeluarkan hembusan angin.
“Kumiko, ayo bangun. Kita makan bersama-sama ya.”
Dengan air mata yang berlinang berjatuhan, Aikawa terus berusaha membangunkan adik kesayangannya itu. Walau sesungguhnya ia tahu bahwa adiknya tak akan pernah membuka matanya lagi untuk selamanya. Hari itu angin berhembus dengan sangat pelan, sehingga menerbangkan bunga Genseika kedalam gua dan juga sungai yang membeku. Seakan mengerti tentang kesedihan yang sedang dialami oleh Aikawa, mengerti tentang penderitaan anak-anak prajurit perang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar